Ketua DPRD Dompu: Wakil Rakyat atau Juru Bicara Pemerintah?The Hidden Mystery Behind Fashion

Di panggung politik nasional, kita kerap menyaksikan perdebatan sengit antara DPR dan pemerintah. Masing-masing pihak saling mengkritik, beradu gagasan, bahkan bertengkar keras atas nama rakyat. Kritik dianggap sehat. Perbedaan sikap dianggap perlu. Karena di situlah fungsi kontrol kekuasaan dijalankan.

Namun pemandangan berbeda terjadi di Kabupaten Dompu. Alih-alih menjadi mitra kritis pemerintah, DPRD di daerah ini—terutama Ketua DPRD—justru terlihat terlalu mesra dengan eksekutif. Mesra bukan dalam konteks diplomasi, tapi dalam bentuk dukungan membabi buta, penuh puja-puji, dan minim keberpihakan kepada masyarakat yang menderita.

Di berbagai akun media sosial milik Ketua DPRD dan sejumlah anggotanya, kita lebih sering menemukan unggahan foto-foto kegiatan pemerintah, lengkap dengan narasi-narasi manis yang mengglorifikasi program pemerintah seolah semuanya berjalan mulus. Tak ada kritik. Tak ada evaluasi. Tak ada suara pembeda. Yang ada justru pengulangan narasi “keberhasilan” yang tidak menyentuh realitas banyak rakyat Dompu.

Pertanyaannya: di mana suara rakyat yang harusnya mereka wakili?

Ketika publik mengeluhkan jalan rusak, air bersih yang langka, petani yang terlilit utang, atau pelayanan publik yang semrawut, DPRD Dompu justru lebih sibuk menjadi corong propaganda kebijakan eksekutif.

Lebih parahnya lagi, di tengah retorika pembangunan yang disambut dengan karangan bunga dan spanduk, media sosial justru dipenuhi dengan gonjang-ganjing pasca Pilkada. Saling menghujat antara kelompok pendukung yang menang dan yang kalah terus berlanjut, memperdalam jarak sosial di tengah masyarakat yang seharusnya sudah mulai memulihkan diri.

I spent 6 months traveling around Australia, Asia, and Europe

Namun ada tragedi lain, yang lebih sunyi tapi menyayat:

Di Selatan Dompu, Seorang Guru Tua Menanggung Beban yang Bukan Miliknya

Di tengah hingar-bingar kekuasaan, seorang guru tua di selatan Dompu kini hidup dalam kondisi renta, sakit-sakitan, dan dihantui beban tak masuk akal: mengembalikan puluhan juta rupiah ke kas negara, akibat kelalaian birokrasi pemerintah daerah.

BKD Dompu menyatakan bahwa guru tersebut seharusnya pensiun di tahun 2022. Tapi selama dua tahun setelahnya, tak pernah ada pemberitahuan resmiData Dapodik (sistem resmi pendidikan nasional) pun mencatat bahwa ia masih aktif hingga 2024. Ia mengajar seperti biasa. Bahkan mendapat SK kenaikan jabatan dari staf administrasi umum menjadi guru pengajar.

Namun kini, ia dianggap salah karena… mempercayai data pemerintah sendiri?

Ini bukan semata soal uang. Ini soal keadilan. Soal tanggung jawab sistem yang rusak, yang bebannya justru dilemparkan ke pundak mereka yang paling tidak berdaya.

Sementara itu, para pejabat yang lalai justru tak tersentuh. Tidak ada audit terhadap BKD. Tidak ada investigasi. Yang dihukum hanyalah sang guru, korban dari kelalaian birokrasi yang seharusnya melindunginya.

BrutalNews berdiri untuk menyuarakan realitas seperti ini.
Kami tidak sedang bermain cantik di hadapan kekuasaan. Kami tidak menjilat, tidak memuja, dan tidak menyembunyikan fakta.

Karena wakil rakyat bukan juru bicara pemerintah. Dan media bukan pelayan kepentingan elite.
Media harus jadi penjaga suara rakyat. Dan jika suara itu dibungkam—kami akan menuliskannya lebih lantang.