Wajah Ganda Tambang: Janji Dana dan Eksploitasi Tenaga Lokal

Industri pertambangan sering datang dengan janji manis: pembangunan daerah, peningkatan ekonomi lokal, dan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Namun, di balik retorika itu, realitas yang dihadapi masyarakat lokal justru sering kali pahit. Banyak kebijakan yang katanya pro-rakyat justru lebih menguntungkan korporasi tambang, sementara tenaga kerja lokal hanya dijadikan alat – bukan mitra.

1. Dana Kebijakan: Janji Manis yang Tak Pernah Sampai

Perusahaan tambang kerap mengklaim bahwa mereka menyisihkan sebagian keuntungan untuk dana CSR (Corporate Social Responsibility) atau kontribusi bagi pembangunan daerah. Namun, dalam praktiknya:

Ketimpangan manfaat: Dana lebih sering dinikmati oleh elit lokal atau pihak yang punya kedekatan dengan perusahaan, sementara masyarakat kecil tetap terpinggirkan.

Distribusi tidak transparan: Dana CSR seringkali tidak melalui mekanisme yang jelas. Masyarakat tidak tahu berapa besar dana yang dialokasikan dan ke mana larinya.

Proyek ‘pencitraan’: Banyak proyek CSR sekadar formalitas, seperti membangun gapura atau mengecat kantor desa – bukan menjawab kebutuhan nyata seperti air bersih, pendidikan, atau kesehatan.

2. Eksploitasi Tenaga Kerja Lokal

Alih-alih memberdayakan tenaga kerja lokal secara berkelanjutan, praktik di lapangan menunjukkan kecenderungan eksploitasi:

Tanpa jaminan karier: Tak sedikit tenaga kerja lokal yang bekerja bertahun-tahun tanpa kesempatan untuk naik jabatan atau menerima pelatihan yang bisa meningkatkan keahlian mereka.

Kontrak pendek dan upah minim: Tenaga lokal sering hanya dijadikan buruh kontrak dengan gaji jauh di bawah standar pekerja luar daerah atau asing.

Pekerjaan kasar dan berisiko: Pekerja lokal jarang diberi posisi strategis atau teknis. Mereka ditempatkan pada pekerjaan fisik yang berat dan berisiko tinggi, tanpa pelatihan memadai atau perlindungan keselamatan kerja yang layak.

3. Janji Pelatihan dan Pemberdayaan yang Mandek

Salah satu janji favorit perusahaan tambang adalah capacity building atau pelatihan keterampilan bagi warga lokal. Sayangnya, banyak program ini hanya sekadar simbolik:

  • Pelatihan dilakukan seadanya dan tidak berkelanjutan.
  • Tidak ada tindak lanjut untuk penyerapan tenaga kerja setelah pelatihan.
  • Skema pelatihan lebih mirip ‘penggugur kewajiban’ ketimbang investasi pada SDM lokal.

4. Manipulasi Narasi: “Sudah Banyak Kami Bantu”

Ketika dikritik, perusahaan tambang sering membela diri dengan menyebut berbagai bantuan yang telah diberikan. Namun narasi ini kerap menutupi:

  • Ketimpangan dampak tambang terhadap lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
  • Kerusakan ekologis jangka panjang yang biayanya tidak pernah ditanggung perusahaan.
  • Hilangnya sumber penghidupan tradisional masyarakat, seperti pertanian dan perikanan, akibat operasi tambang.

Penutup: Masyarakat Butuh Keadilan, Bukan Retorika

Masyarakat lokal tidak menolak pembangunan. Yang mereka tuntut adalah keadilan. Keadilan dalam bentuk keterbukaan informasi, pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan distribusi manfaat yang nyata dan merata.

Tambang seharusnya bukan sekadar alat eksploitasi sumber daya, tapi menjadi mitra sejati masyarakat. Sayangnya, selama kebohongan soal dana kebijakan dan eksploitasi tenaga lokal masih menjadi praktik umum, maka wajah tambang tetap penuh kepalsuan.