Rubrik: Investigasi | Redaksi BrutalNews
Pemekaran bukan sekadar soal garis batas. Ini adalah pertarungan antara pusat dan pinggiran, antara aspirasi rakyat dan kalkulasi kekuasaan.
BABAK I: KENAPA INGIN MEMEKAR?
Pulau Sumbawa yang berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat selama puluhan tahun kerap merasa diperlakukan sebagai anak tiri dalam pembangunan. Meski secara geografis kaya akan sumber daya—tambang, laut, pertanian, dan energi—arus pembangunan cenderung tersentral di Pulau Lombok.
Keinginan memekarkan diri menjadi Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) bukan sekadar gagasan emosional, melainkan hasil dari akumulasi ketimpangan pembangunan, representasi politik yang minim, dan lambatnya realisasi program strategis nasional di kawasan ini.
Gerakan PPS ini telah bergema sejak awal tahun 2000-an. Lima kabupaten—Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima—sepakat untuk mendorong pemekaran. Tapi hingga kini, meski telah melalui berbagai tahapan, perjuangan itu selalu mentok di meja kekuasaan pusat.
BABAK II: JALAN TERJAL MENUJU STATUS PROVINSI
Tim investigasi BrutalNews menelusuri jejak formal perjuangan PPS. Ditemukan bahwa naskah akademik, peta potensi wilayah, dan analisis kelayakan telah disiapkan sejak 2004. Bahkan, DPRD dari lima daerah tersebut pernah menyampaikan dukungan resmi dan mengikuti uji kelayakan oleh pemerintah pusat.
Namun sejak moratorium pemekaran wilayah diberlakukan pada 2014, seluruh proses pemekaran di Indonesia nyaris stagnan. Ironisnya, dalam waktu yang sama, beberapa daerah tertentu tetap diberi lampu hijau untuk mekar—muncul pertanyaan: apakah Jakarta memilih siapa yang boleh mekar dan siapa yang tidak?
Beberapa sumber kami dari Kementerian Dalam Negeri yang tak mau disebutkan namanya menyebut bahwa proses pemekaran sangat politis dan penuh tarik ulur. “Yang punya koneksi lebih kuat ke elite pusat akan lebih mudah mendapatkan persetujuan, bukan semata soal data teknis,” ungkapnya.

BABAK III: EFEK STRUKTURAL DAN KESEJAHTERAAN YANG TERTAHAN
Ketertundaan pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa memiliki efek domino terhadap kesejahteraan masyarakat. Beberapa indikator pembangunan yang kami gali dari BPS NTB menunjukkan bahwa angka kemiskinan, pengangguran, dan infrastruktur dasar di Pulau Sumbawa tertinggal dari Pulau Lombok.
Contoh paling konkret adalah akses ke pelayanan kesehatan tingkat lanjut. Warga dari Dompu atau Bima yang membutuhkan perawatan jantung atau kanker harus menempuh perjalanan 12–18 jam ke Mataram atau bahkan ke Bali. Ini bukan hanya melelahkan, tapi bisa mematikan.
Begitu pula dalam bidang pendidikan tinggi. Jumlah kampus negeri yang representatif sangat terbatas di Pulau Sumbawa, dan anak-anak muda harus hijrah ke Lombok atau Jawa demi pendidikan yang layak.
BABAK IV: SIAPA YANG TAKUT DENGAN PEMEKARAN?
Pertanyaan penting: mengapa pemekaran Pulau Sumbawa terus dihambat? Beberapa analis menyebut bahwa jika PPS terbentuk, akan muncul distribusi kekuasaan dan dana pusat yang harus dipecah lagi. Provinsi NTB akan kehilangan lebih dari 60% wilayah daratannya dan sebagian besar sumber daya tambangnya—seperti tambang Batu Hijau di Sumbawa Barat dan proyek Hu’u di Dompu.
Tak bisa dimungkiri, elite di Provinsi NTB yang berpusat di Lombok khawatir kehilangan kontrol ekonomi dan politik. “Selama ini kami yang kerja keras, tapi mereka yang pegang kuasa,” ungkap seorang aktivis muda dari Sumbawa.
Dalam laporan kami, juga terlihat adanya kecenderungan penggiringan opini bahwa masyarakat Pulau Sumbawa belum siap mandiri. Narasi ini digaungkan oleh sebagian kalangan politisi yang enggan berbagi kekuasaan dan merasa diuntungkan oleh status quo.
BABAK V: POLITIK IDENTITAS DAN SOLIDARITAS KEWILAYAHAN
Pemekaran PPS telah membentuk ikatan emosional dan solidaritas lintas kabupaten di Pulau Sumbawa. Banyak tokoh adat, ulama, dan pemuda kini bahu-membahu memperkuat narasi ke-Sumbawa-an yang inklusif—menyatukan etnis Samawa, Mbojo, dan Dompu dalam satu cita-cita besar.
Namun upaya ini seringkali disusupi oleh elite lokal yang hanya ingin menggunakan isu pemekaran sebagai “senjata kampanye.” Ini menjadi tantangan tersendiri bagi gerakan akar rumput agar tetap murni dan tidak dibajak oleh kepentingan lima tahunan.
PENUTUP: JANGAN BUNGKAM ASPIRASI PINGGIRAN
BrutalNews memandang bahwa perjuangan pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa adalah bentuk sah dari demokrasi lokal yang menuntut redistribusi kekuasaan dan keadilan pembangunan. Bukan berarti ingin memisah atau memecah belah, tetapi justru ingin menyatukan harapan rakyat yang terlalu lama ditunda dan diabaikan.
Kebenaran Tak Butuh Izin – Hanya Butuh Disuarakan.