Rubrik: Opini Publik | Redaksi BrutalNews
“Ketika pembangunan hanya menjadi milik segelintir orang, rakyat dipaksa percaya bahwa kesulitan mereka adalah harga yang wajar untuk kemajuan.”
KETIKA SUARA RAKYAT TAK LAGI BERARTI
Di negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan sosial, terlalu sering kita menyaksikan rakyat kecil menjadi korban dari narasi besar pembangunan. Di Sumbawa, di Dompu, di Hu’u—dan di banyak wilayah lain di Indonesia—kita melihat pola yang sama: tanah diambil, suara dibungkam, dan harapan dikorbankan atas nama “investasi.”
Masyarakat adat, petani, nelayan, buruh lokal—semuanya menyaksikan kehidupan mereka berubah drastis ketika korporasi tambang, perkebunan skala industri, dan megaproyek infrastruktur masuk tanpa proses yang inklusif. Ironisnya, mereka yang tinggal di atas tanah itu tidak pernah sungguh-sungguh ditanya: “Apa yang kalian butuhkan? Apa yang kalian inginkan untuk masa depan kalian?”
KETIKA SUARA RAKYAT TAK LAGI BERARTI
Di negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan sosial, terlalu sering kita menyaksikan rakyat kecil menjadi korban dari narasi besar pembangunan. Di Sumbawa, di Dompu, di Hu’u—dan di banyak wilayah lain di Indonesia—kita melihat pola yang sama: tanah diambil, suara dibungkam, dan harapan dikorbankan atas nama “investasi.”
Masyarakat adat, petani, nelayan, buruh lokal—semuanya menyaksikan kehidupan mereka berubah drastis ketika korporasi tambang, perkebunan skala industri, dan megaproyek infrastruktur masuk tanpa proses yang inklusif. Ironisnya, mereka yang tinggal di atas tanah itu tidak pernah sungguh-sungguh ditanya: “Apa yang kalian butuhkan? Apa yang kalian inginkan untuk masa depan kalian?”
KEMAKMURAN UNTUK SIAPA?
Setiap kali sebuah proyek besar diumumkan, pemerintah daerah hingga pusat berlomba menampilkan angka-angka pertumbuhan ekonomi, peluang kerja, dan janji peningkatan kesejahteraan. Tapi realitas di lapangan jauh dari narasi itu.
Bahkan di banyak kasus, masyarakat justru menghadapi:
- Pemindahan paksa tanpa ganti rugi memadai
- Kehilangan akses terhadap lahan produktif
- Kerusakan lingkungan yang menghilangkan sumber penghidupan
- Ketergantungan ekonomi pada pihak luar, bukan kemandirian lokal
Pertanyaannya sederhana namun menyakitkan: Siapa yang benar-benar diuntungkan dari semua ini?
POLA PENJAJAHAN GAYA BARU
Jika dulu tanah dijarah oleh bangsa asing atas nama kolonialisme, kini praktik yang sama dilakukan oleh sesama anak bangsa—bersekutu dengan korporasi global—atas nama kemajuan. Rakyat tidak lagi dijajah dengan senjata, melainkan dengan dokumen, izin tambang, kontrak investasi, dan pembiaran yang sistematis.
Yang lebih mengerikan adalah bagaimana media arus utama ikut berperan dalam membungkus kenyataan pahit ini dengan berita-berita manis. Opini rakyat diabaikan, suara kritis disudutkan, dan para penguasa seolah berlomba mencari “sertifikat hijau” untuk membenarkan kehancuran yang mereka desain bersama.
KEBANGKITAN KESADARAN PUBLIK
Namun, belum semuanya hilang. Di balik kesunyian desa dan keterpinggiran kampung, kesadaran perlahan tumbuh. Generasi muda mulai mempertanyakan narasi besar yang tidak mereka rasakan manfaatnya. Komunitas akar rumput mulai belajar hukum, lingkungan, dan strategi advokasi. Mereka sadar: perubahan tidak akan datang dari atas, tetapi dari keberanian bersuara di bawah.
Gerakan ini perlu didukung. Bukan dengan tepuk tangan kosong, tapi dengan ruang yang aman untuk menyampaikan pendapat, dengan jurnalisme yang berpihak pada keadilan, dan dengan solidaritas antarwarga yang melintasi batas politik dan identitas
PENUTUP: OPINI YANG HARUS MENJADI GERAKAN
Negeri ini tidak akan berubah hanya dengan data statistik atau baliho-baliho raksasa yang memamerkan proyek prestisius. Ia hanya akan berubah jika suara rakyat tak lagi diabaikan, jika opini publik menjadi dasar kebijakan, dan jika kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh mereka yang duduk di singgasana, tapi dibagikan ke mereka yang selama ini dipinggirkan.
Karena negeri ini milik semua, bukan hanya milik mereka yang punya modal.
Dan seperti yang selalu kami suarakan di BrutalNews:
Kebenaran Tak Butuh Izin – Hanya Butuh Disuarakan.